PENDIDIKAN INTEGRAL
Pengantar Sederhana Kurikulum Berbasis Tauhid
SD INTEGRAL YAA BUNAYYA
“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,”
Surat pertama dari Al‐Qur’an, yang dimulai dengan menyebut nama Allah. Kemudian memberikan pengarahan pertama kepada Rasulullah Saw., pada masa kali pertama berhubungan dengan alam tertinggi, dan pada langkah pertamanya di jalan dakwah yang dipilihkan untuknya, begitu Sayyid Quthb menjelaskan dalam Fii Zhilalil Qur’an. Diarahkannya beliau supaya membaca dengan nama Allah, “Bacalah dengan nama Tuhanmu ….” Inilah Penyebutan sifat‐sifat Tuhan di sini, kata Sayyid Quthb menambahkan, dimulai dengan menyebut sifat yang dengannya dimulai penciptaan dan permulaan manusia, yaitu sifat Tuhan “Yang Menciptakan”. Kemudian penyebutan secara khusus tentang penciptaan manusia dan asal‐usulnya, “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah …” Dari setitik darah beku yang melekat di dinding rahim, dari benih yang sangat kecil dan sederhana bentuknya. Hal ini menunjukkan betapa Yang Maha Pencipta telah memuliakan manusia melebihi kodratnya. Di antara kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia ialah, Dia telah mening‐katkan tingkat darah yang melekat di dinding ini ke tingkatan sebagai manusia yang memiliki potensi untuk mengetahui. Menarik bahwa, ayat ini diturunkan kepada seorang yang tidak bisa membaca dan me‐nulis, Muhammad shalallahi’alaihi wassalam. Banyak pelajaran yang bisa kita petik. Salah satunya adalah bahwa ayat ini – dan lebih luas lagi Al‐Qur’an – adalah pasti dari Allah Yang Mencipta‐kan. Bukan dan tidak mungkin dikarang oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam yang buta huruf. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa Muhammad adalah nabi dan utusan‐Nya. Buta hurufnya Rasulullah Saw., menunjukkan bahwa sumber pengajaran dan ilmu pe‐ngetahuan adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Dari‐Nya manusia mengembangkan apa yang telah dan akan diketahuinya. Dari‐Nya manusia mengembangkan apa yang dibukakan untuknya tentang rahasia‐rahasia semesta, kehidupan, dan dirinya sendiri. Juga dari‐Nya, ketetapan hukum yang tidak pernah berubah atas alam semesta dan seluruh makhluk‐Nya berasal.
Pelajaran lain yang bisa kita petik adalah perintah “iqra” tidak diturunkan sebagai perin‐tah yang berdiri sendiri. Perintah ini diturunkan dalam satu kesatuan perintah iqra’ bismirabbikalladzii khalaq.
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Bismirabbikal ladzi khalaq adalah yang mensifati perintah itu. Bukan dua perintah yang berurutan. Sebagai sifat, karakter atau keadaan yang harus hadir, maka perintah itu tidak bernilai apabila tidak disertai dengan sifat yang harus ada di dalamnya.Harus kita catat baik‐baik dengan hati kita bahwa perintah iqra’ bismirabbikalladzi khalaq merupakan tonggak awal yang menandai dimulainya revolusi keislaman, kemanusiaan dan per‐adaban. Sebuah lompatan dari keadaan yang sangat buruk dan mengenaskan, tidak beradab, mengagungkan pengetahuan semata –para pedagang negeri arab waktu itu sudah bisa meng‐gunakan pengetahuan tentang astronomi sebagai petunjuk untuk keberangkatan missi dagang ke negeri lain– serta keadaan moral pada titik terendah, menuju keadaan yang paling baik, meng‐ubah budak menjadi pemimpin yang memiliki integritas tinggi, berakhlak mulia dan berilmu tinggi. Dan revolusi besar peradaban ini dimulai dengan iqra’ bismirabbikal ladzi khalaq. Membaca yang tak sekedar membaca. Membaca yang mensyaratkan pengabdian dan pengenalan Tuhan Yang Menciptakan. Membaca yang bertujuan. Membaca yang bersifat ideologis. Apa pun yang dibaca.
Boleh jadi seseorang membaca kitab‐kitab yang mengagungkan nama Allah Yang Maha Mulia. Tetapi ia semata‐mata untuk pengetahuan, apalagi hanya untuk mengharumkan nama dan menghindarkan diri dari rasa malu karena sedikitnya ilmu, maka kegiatan membaca terse‐but tidak bernilai. Ini berarti bahwa apa yang menggerakkan seseorang membaca, apa tujuan‐nya dan untuk apa ilmu yang didapat dari aktivitas membaca tersebut sangat menentukan arti dan manfaat ia membaca. Ini juga berarti membangkitkan, menjaga dan menguatkan motivasi dalam membaca sangat penting kita perhatikan.
Sebaliknya, boleh jadi seseorang membaca buku yang seakan tidak berhubungan sama sekali dengan tau‐hid. Tetapi karena ia membaca dalam rangka mengagung‐kan asma’ Allah, maka setiap bertambahnya ilmu penge‐tahuan, bertambah pula keyakinannya kepada Allah Yang Maha Pemurah. Setiap yang ia baca, menggerakkan diri‐nya untuk memberi manfaat bagi agama ini.
Perintah ini diturunkan dalam satu kesatuan perintah iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Bismirabbikal ladzi khalaq adalah yang mensifati perintah itu. Bukan dua perintah yang berurutan. Sebagai sifat, karakter atau keadaan yang harus hadir, maka perintah itu tidak bernilai apabila tidak disertai dengan sifat yang harus ada di dalamnya.
Memisahkan perintah membaca (iqra’) dari per‐nyataan penyebutan –bl ismi juga bermakna atas nama – Tuhan Yang Menciptakan, berarti kerusakan. Jahiliyah di zaman Muhammad Saw. belum diangkat menjadi nabi, bukanlah terpisahnya manusia pada waktu itu dari ilmu pengetahuan. Perdagangan sangat maju di masa itu. Pen‐duduk negeri mempunyai jaringan bisnis yang sangat kuat hingga ke luar negeri. Salah satu pebisnis yang memiliki jaringan sangat kuat adalah Khadijah Al‐Kubra dimana Muhammad Saw. menjadi salah satu manajernya. Tetapi zaman itu disebut zaman jahiliyah karena ilmu pengetahu‐an tidak membuat manusia mengenal Tuhannya. Tak Sekedar Mencerdaskan Otak, Jika kita kaitkan dengan pendidikan, mencer‐daskan otak saja tidak cukup, sekalipun yang mereka pelajari adalah pengetahuan agama. Pendidikan zaman jahiliyah –zaman kebodohan—sangat unggul dalam hal mencerdaskan otak dengan berbagai cabang ilmu penge‐tahuan. Jauh sebelum masa Rasulullah saw. pun pendi‐dikan telah mencapai taraf yang mengagumkan. Pendi‐dikan di zaman jahiliyah telah melahirkan penyair‐penya‐ir yang memiliki kepekaan estetis sangat tinggi, ilmuwan yang sangat ahli dalam bidang astronomi maupun ber‐bagai cabang pengetahuan lainnya, serta pebisnis tangguh dengan jaringan berskala multi‐nasional. Tetapi zaman yang melahirkan banyak orang cerdas ini disebut zaman jahiliyah. Sebabnya, otak mereka cemerlang dan terus ter‐asah, tetapi iman dan akhlaknya menyedihkan.
Boleh jadi seseorang membaca kitab‐kitab yang mengagungkan nama Allah Yang Maha Mulia. Tetapi ia semata‐mata untuk pengetahuan, apalagi hanya untuk mengharumkan nama dan menghindarkan diri dari rasa malu karena sedikitnya ilmu, maka kegiatan membaca terse‐but tidak bernilai. Ini berarti bahwa apa yang menggerakkan seseorang membaca, apa tujuan‐nya dan untuk apa ilmu yang didapat dari aktivitas membaca tersebut sangat menentukan arti dan manfaat ia membaca. Ini juga berarti membangkitkan, menjaga dan menguatkan motivasi dalam membaca sangat penting kita perhatikan.
Sebaliknya, boleh jadi seseorang membaca buku yang seakan tidak berhubungan sama sekali dengan tau‐hid. Tetapi karena ia membaca dalam rangka mengagung‐kan asma’ Allah, maka setiap bertambahnya ilmu penge‐tahuan, bertambah pula keyakinannya kepada Allah Yang Maha Pemurah. Setiap yang ia baca, menggerakkan diri‐nya untuk memberi manfaat bagi agama ini.
Perintah ini diturunkan dalam satu kesatuan perintah iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Bismirabbikal ladzi khalaq adalah yang mensifati perintah itu. Bukan dua perintah yang berurutan. Sebagai sifat, karakter atau keadaan yang harus hadir, maka perintah itu tidak bernilai apabila tidak disertai dengan sifat yang harus ada di dalamnya.
Memisahkan perintah membaca (iqra’) dari per‐nyataan penyebutan –bl ismi juga bermakna atas nama – Tuhan Yang Menciptakan, berarti kerusakan. Jahiliyah di zaman Muhammad Saw. belum diangkat menjadi nabi, bukanlah terpisahnya manusia pada waktu itu dari ilmu pengetahuan. Perdagangan sangat maju di masa itu. Pen‐duduk negeri mempunyai jaringan bisnis yang sangat kuat hingga ke luar negeri. Salah satu pebisnis yang memiliki jaringan sangat kuat adalah Khadijah Al‐Kubra dimana Muhammad Saw. menjadi salah satu manajernya. Tetapi zaman itu disebut zaman jahiliyah karena ilmu pengetahu‐an tidak membuat manusia mengenal Tuhannya. Tak Sekedar Mencerdaskan Otak, Jika kita kaitkan dengan pendidikan, mencer‐daskan otak saja tidak cukup, sekalipun yang mereka pelajari adalah pengetahuan agama. Pendidikan zaman jahiliyah –zaman kebodohan—sangat unggul dalam hal mencerdaskan otak dengan berbagai cabang ilmu penge‐tahuan. Jauh sebelum masa Rasulullah saw. pun pendi‐dikan telah mencapai taraf yang mengagumkan. Pendi‐dikan di zaman jahiliyah telah melahirkan penyair‐penya‐ir yang memiliki kepekaan estetis sangat tinggi, ilmuwan yang sangat ahli dalam bidang astronomi maupun ber‐bagai cabang pengetahuan lainnya, serta pebisnis tangguh dengan jaringan berskala multi‐nasional. Tetapi zaman yang melahirkan banyak orang cerdas ini disebut zaman jahiliyah. Sebabnya, otak mereka cemerlang dan terus ter‐asah, tetapi iman dan akhlaknya menyedihkan.
Apa artinya? Mencerdaskan otak saja tidak cu‐kup. Kita harus merancang agar pendidikan yang kita selenggarakan mampu menggerakkan jiwa. Jiwa mereka hidup karena kepekaan sosialnya terasah, akhlaknya mulia, imannya kokoh, cita‐citanya besar, semangatnya untuk menolong agama Allah sangat tinggi, dan memiliki visi yang kuat. Pendidikan harus kita rancang untuk membentuk pribadi yang memiliki karak‐ter sangat kuat.
Kita harus merancang agar pendidikan yang kita selenggarakan mampu menggerakkan jiwa.
Jiwa mereka hidup karena kepekaan sosialnya terasah, akhlaknya mulia, imannya kokoh, cita-citanya besar, semangatnya untuk menolong agama Allah sangat tinggi, dan memiliki visi yang kuat.
Pendidikan harus kita rancang untuk membentuk pribadi yang memiliki karakter sangat kuat.
Berpijak pada pemahaman bahwa kita mengemban tugas mendidik anak “membaca dengan nama Tuhan Yang Menciptakan”, ada beberapa konsekuensi yang harus kita perhatikan
1. Membangun Dasar Berpengetahuan (The Basic of Knowing)
Seluruh proses pendidikan semenjak awal diarahkan untuk membangun apa yang se‐ring saya sebut sebagai the basic of knowing (semangat dasar berpengetahuan), yakni mengenal Tuhannya Yang Menciptakan melalui ciptaan‐ciptaan‐Nya. Anak didik diarahkan untuk mampu menemukan tanda‐tanda adanya Tuhan, melalui setiap tanda yang ada di alam ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda‐tanda bagi orang‐orang yang berakal, (yaitu) orang‐orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memi‐kirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ʺYa Tuhan kami, tiadalah Engkau mencip‐takan ini dengan sia‐sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 190‐191).
Inilah arah pendidikan kita! Kita bertugas melahirkan manusia ulil albab; manusia yang semakin memahami ciptaan Allah, akan semakin besar keyakinannya kepada Yang Maha Men‐ciptakan. Bukan sebaliknya. Keteraturan di balik penciptaan membawa kepada keyakinan yang semakin kuat bahwa alam semesta seisinya pasti diciptakan, dan Sang Pencipta tersebut adalah Tak Sekedar Mencerdaskan Otak, SDIT Hidayatullah Membangkitkan Jiwa 3
Tuhan Yang Tidak Ada Sekutu Bagi‐Nya. Sebab jika Ia memiliki sekutu, maka tidak akan ada keteraturan yang benar‐benar tertib dan konsisten bagi setiap ciptaan‐Nya.
Lebih lanjut tentang ulil albab, insya‐Allah kita akan berbincang secara khusus di bagian akhir buku ini. Kita juga akan berbincang sejenak tentang golongan ulil abshar, yakni orang‐orang yang memiliki ketajaman mata hati.
Inilah orang‐orang yang memiliki kepekaan melihat tanda‐tanda adanya Tuhan. Dan inilah arah pendidikan kita: melahirkan ulil albab dan ulil abshar.
Kita merancang penyelenggaraan pendidikan yang mengasah kepekaan peserta didik untuk “menemukan” adanya Tuhan pada setiap ciptaan. Ini berarti pendidik dituntut untuk mampu menjadikan mata pelajaran sebagai pintu‐pintu hidayah bagi para peserta didik, bahkan wali muridnya. Apa pun mata pelajarannya, tauhid juga ujungnya. Tak ada mata pelajaran aga‐ma, sebab agama tidak sama dengan biologi dan matematika. Al‐Islam menjadi ruh bagi seluruh mata pelajaran, dan setiap mata pelajaran bertugas mendekatkan anak kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Tidak adanya mata pelajaran agama ini justru dimaksudkan agar Al‐Islam memiliki ke‐dudukan yang sangat tinggi di hati anak. Jika ditempatkan sebagai mata pelajaran, agama hanya menjadi pengetahuan. Tak ada bedanya dengan matematika dan biologi. Bahkan bisa dianggap lebih rendah lagi karena tak perlu mengernyitkan kening untuk mempelajari.
Lalu bagaimana memperkenalkan ilmu agama kepada mereka? Pertama, setiap mata pelajaran bertugas mengantarkan anak mengenal Tuhannya. Lebih‐lebih mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu‐ilmu alam (natural sciences). Ayat‐ayat tentang ulil albab banyak berkait dengan kemampuan memahami gejala alam sebagai tanda adanya Tuhan. Kedua, pembelajaran dan pendidikan diniyah dilakukan selama proses belajar mengajar berlang‐sung serta pada waktu‐waktu khusus yang secara terencana dipersiapkan oleh penyelenggara pendidikan. Waktu khu‐sus ini disediakan setiap hari. Bisa dalam bentuk program kegiatan terencana saat istirahat, bisa juga berupa jam khu‐sus untuk materi‐materi yang tidak bersifat harian. Ketiga, pembelajaran ilmu‐ilmu agama (‘ulumuddin) diberikan dalam mata pelajaran yang secara langsung merujuk pada kelom‐pok materi yang diajarkan, misalnya fiqih. Pendidikan akh‐lak tidak diajarkan tersendiri, melainkan secara integral di‐bangun melalui berbagai mata pelajaran, khususnya mata pelajaran Baca Tulis Al‐Qur’an dan ‘Aqidah. Titik tekan pen‐didikan akhlak adalah pada motivasi untuk melakukan tin‐dakan‐tindakan mulia. Konsekuensinya, penyelenggara pen‐didikan mempersiapkan sumber belajar yang sangat kaya. Sesungguhnya, setiap amal yang harus didahului oleh ilmu agar semangat beramal tidak mendatangkan kebinasaan dan kehancuran.
Seluruh proses pendidikan semenjak awal diarahkan untuk membangun apa yang se‐ring saya sebut sebagai the basic of knowing (semangat dasar berpengetahuan), yakni mengenal Tuhannya Yang Menciptakan melalui ciptaan‐ciptaan‐Nya. Anak didik diarahkan untuk mampu menemukan tanda‐tanda adanya Tuhan, melalui setiap tanda yang ada di alam ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda‐tanda bagi orang‐orang yang berakal, (yaitu) orang‐orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memi‐kirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ʺYa Tuhan kami, tiadalah Engkau mencip‐takan ini dengan sia‐sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 190‐191).
Inilah arah pendidikan kita! Kita bertugas melahirkan manusia ulil albab; manusia yang semakin memahami ciptaan Allah, akan semakin besar keyakinannya kepada Yang Maha Men‐ciptakan. Bukan sebaliknya. Keteraturan di balik penciptaan membawa kepada keyakinan yang semakin kuat bahwa alam semesta seisinya pasti diciptakan, dan Sang Pencipta tersebut adalah Tak Sekedar Mencerdaskan Otak, SDIT Hidayatullah Membangkitkan Jiwa 3
Tuhan Yang Tidak Ada Sekutu Bagi‐Nya. Sebab jika Ia memiliki sekutu, maka tidak akan ada keteraturan yang benar‐benar tertib dan konsisten bagi setiap ciptaan‐Nya.
Lebih lanjut tentang ulil albab, insya‐Allah kita akan berbincang secara khusus di bagian akhir buku ini. Kita juga akan berbincang sejenak tentang golongan ulil abshar, yakni orang‐orang yang memiliki ketajaman mata hati.
Inilah orang‐orang yang memiliki kepekaan melihat tanda‐tanda adanya Tuhan. Dan inilah arah pendidikan kita: melahirkan ulil albab dan ulil abshar.
Kita merancang penyelenggaraan pendidikan yang mengasah kepekaan peserta didik untuk “menemukan” adanya Tuhan pada setiap ciptaan. Ini berarti pendidik dituntut untuk mampu menjadikan mata pelajaran sebagai pintu‐pintu hidayah bagi para peserta didik, bahkan wali muridnya. Apa pun mata pelajarannya, tauhid juga ujungnya. Tak ada mata pelajaran aga‐ma, sebab agama tidak sama dengan biologi dan matematika. Al‐Islam menjadi ruh bagi seluruh mata pelajaran, dan setiap mata pelajaran bertugas mendekatkan anak kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Tidak adanya mata pelajaran agama ini justru dimaksudkan agar Al‐Islam memiliki ke‐dudukan yang sangat tinggi di hati anak. Jika ditempatkan sebagai mata pelajaran, agama hanya menjadi pengetahuan. Tak ada bedanya dengan matematika dan biologi. Bahkan bisa dianggap lebih rendah lagi karena tak perlu mengernyitkan kening untuk mempelajari.
Lalu bagaimana memperkenalkan ilmu agama kepada mereka? Pertama, setiap mata pelajaran bertugas mengantarkan anak mengenal Tuhannya. Lebih‐lebih mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu‐ilmu alam (natural sciences). Ayat‐ayat tentang ulil albab banyak berkait dengan kemampuan memahami gejala alam sebagai tanda adanya Tuhan. Kedua, pembelajaran dan pendidikan diniyah dilakukan selama proses belajar mengajar berlang‐sung serta pada waktu‐waktu khusus yang secara terencana dipersiapkan oleh penyelenggara pendidikan. Waktu khu‐sus ini disediakan setiap hari. Bisa dalam bentuk program kegiatan terencana saat istirahat, bisa juga berupa jam khu‐sus untuk materi‐materi yang tidak bersifat harian. Ketiga, pembelajaran ilmu‐ilmu agama (‘ulumuddin) diberikan dalam mata pelajaran yang secara langsung merujuk pada kelom‐pok materi yang diajarkan, misalnya fiqih. Pendidikan akh‐lak tidak diajarkan tersendiri, melainkan secara integral di‐bangun melalui berbagai mata pelajaran, khususnya mata pelajaran Baca Tulis Al‐Qur’an dan ‘Aqidah. Titik tekan pen‐didikan akhlak adalah pada motivasi untuk melakukan tin‐dakan‐tindakan mulia. Konsekuensinya, penyelenggara pen‐didikan mempersiapkan sumber belajar yang sangat kaya. Sesungguhnya, setiap amal yang harus didahului oleh ilmu agar semangat beramal tidak mendatangkan kebinasaan dan kehancuran.
Lebih mudahnya, pembelajaran ilmu agama beserta motivasi, pembiasaan dan praktek ‘ibadah yang secara terencana diberikan kepada peserta didik, kita sebut kurikulum istirahat dan kurikulum masjid. Kurikulum istirahat berkait dengan proses pendi‐dikan yang kita berikan kepada peserta didik di saat mereka sedang istirahat. Ini sangat penting artinya bagi peserta didik agar mereka melihat keterkaitan erat antara materi pembelajaran di kelas dengan interaksi langsung pendidik dan peserta didik saat istirahat. Sedang‐kan kurikulum masjid berkait dengan pembelajaran secara terencana pada waktu‐waktu khusus di masjid.
Alhasil, sekolah sengaja dirancang memiliki banyak waktu istirahat agar bisa menjalankan kurikulum istirahat & kurikulum mas‐jid secara optimal. Anak memperoleh pengalaman religius dan pe‐nanaman tujuan hidup melalui proses pendidikan yang berlang‐sung selama “jam istirahat”. Banyaknya waktu istirahat juga dimak‐sudkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mun‐culnya kreativitas dan gagasan segar para peserta didik. Umumnya gagasan cemerlang dan pemikiran yang orisinal muncul pada saat kita sedang relaks. Santai setelah bekerja keras; santai setelah be‐lajar dengan gigih. Gagasan cemerang dan pemikiran orisinal sulit keluar pada saat kita sedang sibuk dan pikiran kita sedang penuh beban.
Alhasil, sekolah sengaja dirancang memiliki banyak waktu istirahat agar bisa menjalankan kurikulum istirahat & kurikulum mas‐jid secara optimal. Anak memperoleh pengalaman religius dan pe‐nanaman tujuan hidup melalui proses pendidikan yang berlang‐sung selama “jam istirahat”. Banyaknya waktu istirahat juga dimak‐sudkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mun‐culnya kreativitas dan gagasan segar para peserta didik. Umumnya gagasan cemerlang dan pemikiran yang orisinal muncul pada saat kita sedang relaks. Santai setelah bekerja keras; santai setelah be‐lajar dengan gigih. Gagasan cemerang dan pemikiran orisinal sulit keluar pada saat kita sedang sibuk dan pikiran kita sedang penuh beban.
Saya teringat dengan Imam Al‐Ghazali rahimahullah. Ia pernah berkata, “Hendaklah anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hi‐dup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.”
Waktu istirahat ini secara bertahap berkurang sesuai dengan jenjang pendidikannya. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, waktu istirahat semakin sedikit. Sebaliknya semakin rendah jenjang pendidikannya, semakin banyak waktu istirahatnya. Sesungguhnya, masa ka‐nak‐kanak adalah masa bermain. Ia berangsur hilang. Bukan seketika.
Pada tingkat sekolah dasar, sebaiknya guru tidak memberikan pekerjaan rumah beru‐pa pengerjaan soal‐soal yang berkait dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Hal ini di‐maksudkan agar secara mental anak tidak terbebani, sehingga dengan itu kreativitas dan kemam‐puan berpikir inovatifnya akan berkembang. Sekalipun demikian, guru berkewajiban memfa‐silitasi minat belajar para peserta didik. Jika budaya belajar (learning culture) telah terbentuk, peserta didik dengan sendirinya memiliki semangat yang sangat besar untuk memperkaya pe‐ngalaman belajarnya dengan mengembangkan sumber belajarnya dan memperbanyak latihan mengerjakan soal. Untuk itu guru bisa memberikan proyek (student’s project) berupa kumpulan soal‐soal dan aktivitas yang memperkaya pengalaman belajarnya. Tetapi, sekali lagi, ini bukan pekerjaan rumah (homework). Kita bisa memberikan tugas untuk anak‐anak selama berada di rumah; bukan homework, melainkan housekeeping & DILO (day in the life of)
Waktu istirahat ini secara bertahap berkurang sesuai dengan jenjang pendidikannya. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, waktu istirahat semakin sedikit. Sebaliknya semakin rendah jenjang pendidikannya, semakin banyak waktu istirahatnya. Sesungguhnya, masa ka‐nak‐kanak adalah masa bermain. Ia berangsur hilang. Bukan seketika.
Pada tingkat sekolah dasar, sebaiknya guru tidak memberikan pekerjaan rumah beru‐pa pengerjaan soal‐soal yang berkait dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Hal ini di‐maksudkan agar secara mental anak tidak terbebani, sehingga dengan itu kreativitas dan kemam‐puan berpikir inovatifnya akan berkembang. Sekalipun demikian, guru berkewajiban memfa‐silitasi minat belajar para peserta didik. Jika budaya belajar (learning culture) telah terbentuk, peserta didik dengan sendirinya memiliki semangat yang sangat besar untuk memperkaya pe‐ngalaman belajarnya dengan mengembangkan sumber belajarnya dan memperbanyak latihan mengerjakan soal. Untuk itu guru bisa memberikan proyek (student’s project) berupa kumpulan soal‐soal dan aktivitas yang memperkaya pengalaman belajarnya. Tetapi, sekali lagi, ini bukan pekerjaan rumah (homework). Kita bisa memberikan tugas untuk anak‐anak selama berada di rumah; bukan homework, melainkan housekeeping & DILO (day in the life of)
2. Menanamkan Kesadaran tentang Amanah Penciptaan
Sebagai konsekuensi, seluruh proses pendidikan juga diarahkan untuk mengenalkan pe‐serta didik kepada amanah yang menyertai setiap penciptaan, baik amanah yang bersifat umum maupun khusus, sekaligus menumbuhkan komitmen yang sangat kuat untuk menunaikan. Se‐luruh proses pendidikan diarahkan untuk membangun kesadaran yang sangat kuat pada diri peserta didik. Amanah umum berkenaan dengan tugasnya sebagai ‘abdullah (hamba Allah), se‐dangkan amanah khusus berkait dengan tugas sebagai khalifatullah di muka bumi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguh‐nya peringatan itu bermanfaat bagi orang‐orang yang beriman. Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan ma‐nusia kecuali supaya mereka menyembah‐Ku.” (QS. Adz‐Dzariyaat, 51: 55‐56).
Ayat ini menunjukkan kepada kita tentang dua perkara. Pertama¸ perintah untuk tetap berdakwah, menyampaikan peringatan kepada orang‐orang yang beriman. Kedua, menunjuk‐kan tujuan penciptaan manusia –dan jin—di muka bumi ini. Tidak ada tujuan lain Allah men‐ciptakan kita kecuali untuk beribadah kepada‐Nya. Perintah untuk tetap memberi peringatan kepada orang‐orang beriman dimaksudkan agar manusia mengingat kembali tujuan penciptaan dirinya. Ia menyadari bahwa apa pun yang ia kerjakan, shalat dan ibadahnya serta hidup dan matinya, semata‐mata hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini berarti membiasakan shalat dan meng‐hafal ayat saja tidak cukup. Sebab shalat pun bisa bukan untuk Allah Yang Maha Menciptakan, meski seluruh tata caranya sesuai dengan tuntunan Rasu‐lullah saw.. Proses pendidikan yang berlangsung harus membangun kesadaran bahwa apa pun yang kita lakukan dalam hidup kita, termasuk kematian kita, hanyalah untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Kita se‐mua akan mati dan tak ada seorang pun yang tahu kapan datangnya. Maka, tak penting kapan kita mati. Jauh lebih penting adalah, dalam rangka apa kita mati.
Inilah yang perlu kita tanamkan kepada para peserta didik, sehingga mereka memiliki se‐mangat hidup yang sangat besar. Mereka memiliki semangat yang menyala‐nyala untuk mengabdikan hidup dan matinya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla, semata‐mata karena Allah. Dan sesungguhnya, inilah jalan untuk meraih pertolongan Allah Ta’ala.
Allah berfirman, “Hai orang‐orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7).
Inilah yang menjamin datangnya pertolongan Allah dan kokohnya kedudukan kita di muka bumi. Allah ‘Azza wa Jalla akan berikan kepada kita giliran untuk menggenggam kejayaan di atas ummat‐ummat lain dengan melimpahkan harta kekayaan dan anak yang banyak. Allah berfirman, “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak‐anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hu‐kuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang‐orang lain) untuk menyuramkan muka‐muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh‐musuhmu mema‐sukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis‐habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al‐Israa’, 17: 6‐7).
Selanjutnya, dengan berpijak pada amanah umum –sekaligus amanah dasar—sebagai ‘abdullah, kita mengenalkan kepada peserta didik amanah khusus sebagai khalifatullah fil ardh –pemimpin dan pemakmur bumi di muka bumi. Allah memperingatkan dalam Al‐Qur’an:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ʺSesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumiʺ. Mereka berkata: ʺMengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?ʺ Tuhan berfirman: ʺSesung‐guhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahuiʺ (QS. Al‐Baqarah, 2: 30).
Inilah antara lain ayat yang mengingatkan kita tentang amanah penciptaan. Ini pula tujuan dasar pendidikan. Pada bab dua buku ini, insya‐Allah kita akan berbincang kembali ten‐tang ‘abdullah dan khalifatullah fil ardh sebagai tujuan dasar pendidikan.
Sebagai konsekuensi, seluruh proses pendidikan juga diarahkan untuk mengenalkan pe‐serta didik kepada amanah yang menyertai setiap penciptaan, baik amanah yang bersifat umum maupun khusus, sekaligus menumbuhkan komitmen yang sangat kuat untuk menunaikan. Se‐luruh proses pendidikan diarahkan untuk membangun kesadaran yang sangat kuat pada diri peserta didik. Amanah umum berkenaan dengan tugasnya sebagai ‘abdullah (hamba Allah), se‐dangkan amanah khusus berkait dengan tugas sebagai khalifatullah di muka bumi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguh‐nya peringatan itu bermanfaat bagi orang‐orang yang beriman. Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan ma‐nusia kecuali supaya mereka menyembah‐Ku.” (QS. Adz‐Dzariyaat, 51: 55‐56).
Ayat ini menunjukkan kepada kita tentang dua perkara. Pertama¸ perintah untuk tetap berdakwah, menyampaikan peringatan kepada orang‐orang yang beriman. Kedua, menunjuk‐kan tujuan penciptaan manusia –dan jin—di muka bumi ini. Tidak ada tujuan lain Allah men‐ciptakan kita kecuali untuk beribadah kepada‐Nya. Perintah untuk tetap memberi peringatan kepada orang‐orang beriman dimaksudkan agar manusia mengingat kembali tujuan penciptaan dirinya. Ia menyadari bahwa apa pun yang ia kerjakan, shalat dan ibadahnya serta hidup dan matinya, semata‐mata hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini berarti membiasakan shalat dan meng‐hafal ayat saja tidak cukup. Sebab shalat pun bisa bukan untuk Allah Yang Maha Menciptakan, meski seluruh tata caranya sesuai dengan tuntunan Rasu‐lullah saw.. Proses pendidikan yang berlangsung harus membangun kesadaran bahwa apa pun yang kita lakukan dalam hidup kita, termasuk kematian kita, hanyalah untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Kita se‐mua akan mati dan tak ada seorang pun yang tahu kapan datangnya. Maka, tak penting kapan kita mati. Jauh lebih penting adalah, dalam rangka apa kita mati.
Inilah yang perlu kita tanamkan kepada para peserta didik, sehingga mereka memiliki se‐mangat hidup yang sangat besar. Mereka memiliki semangat yang menyala‐nyala untuk mengabdikan hidup dan matinya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla, semata‐mata karena Allah. Dan sesungguhnya, inilah jalan untuk meraih pertolongan Allah Ta’ala.
Allah berfirman, “Hai orang‐orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7).
Inilah yang menjamin datangnya pertolongan Allah dan kokohnya kedudukan kita di muka bumi. Allah ‘Azza wa Jalla akan berikan kepada kita giliran untuk menggenggam kejayaan di atas ummat‐ummat lain dengan melimpahkan harta kekayaan dan anak yang banyak. Allah berfirman, “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak‐anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hu‐kuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang‐orang lain) untuk menyuramkan muka‐muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh‐musuhmu mema‐sukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis‐habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al‐Israa’, 17: 6‐7).
Selanjutnya, dengan berpijak pada amanah umum –sekaligus amanah dasar—sebagai ‘abdullah, kita mengenalkan kepada peserta didik amanah khusus sebagai khalifatullah fil ardh –pemimpin dan pemakmur bumi di muka bumi. Allah memperingatkan dalam Al‐Qur’an:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ʺSesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumiʺ. Mereka berkata: ʺMengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?ʺ Tuhan berfirman: ʺSesung‐guhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahuiʺ (QS. Al‐Baqarah, 2: 30).
Inilah antara lain ayat yang mengingatkan kita tentang amanah penciptaan. Ini pula tujuan dasar pendidikan. Pada bab dua buku ini, insya‐Allah kita akan berbincang kembali ten‐tang ‘abdullah dan khalifatullah fil ardh sebagai tujuan dasar pendidikan.
3. Membangun Pandangan Dunia Tauhid
Seluruh proses pendidikan semenjak awal diarahkan untuk membangun dasar berpenge‐tahuan (the basic of knowing) berupa pandangan dunia tauhid yang kuat. Aspek sangat penting di sini adalah membangun niat peserta didik sehingga setiap proses iqra’ –lebih luas lagi proses berilmu—tidak terpisah dari yang harus mensifatinya, yakni bismirabbika ladzi khalaq. Apa pun yang mereka pelajari dan yang mereka hasilkan dari proses belajar tersebut, harus memiliki tu‐juan yang mulia dalam pandangan agama. Apa pun cita‐cita mereka, tidak terlepas dari tujuan dasar sebagai ‘abdullah dan khalifatullah fil ardh.
Secara sederhana, dasar berpengetahuan (the basic of knowing) adalah segala sesuatu yang menjadi penggerak dan tujuan kita menuntut ilmu. Semakin kuat dasar berpengetahuan kita, semakin menancap kokoh motivasi kita menuntut ilmu. Semakin mantap dasar berpengetahuan tersebut dalam diri kita, semakin kontekstual apa yang kita pelajari, sehingga proses belajar te‐rasa hidup. Ini akan mendorong terciptanya semangat belajar mandiri yang tinggi. Kuatnya dasar berpengetahuan juga sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan budaya belajar (learning culture) –salah satu tugas penting pendidik di tingkat sekolah dasar.
Berkait dengan tujuan dasar pendidikan kita, pendidik berkewajiban membangun pan‐dangan dunia tauhid sebagai dasar berpengetahuan anak‐anak kita. Mereka kita bimbing untuk menemukan kekuatan penggerak (driving force) dalam belajar dan membangun cita‐cita dengan bersumber pada keyakinan terhadap ‘aqidah yang lurus. Pemahaman tauhid kita tidak cukup untuk memenuhi derajat sebagai pandangan dunia tauhid yang benar‐benar hidup dalam diri kita –saya menyebutnya sebagai pandangan dunia tauhid aktual—apabila pemahaman tersebut tidak membangkitkan dorongan moralistik‐idealistik yang kuat.
Sesungguhnya orang‐orang kafir tidaklah sama dengan mereka yang tidak mengenal agama ini. Di antara orang‐orang kafir, bahkan yang memusuhi agama ini, ada yang sangat me‐mahami ajaran agama ini. Akan tetapi pemahaman itu terhenti pada pikiran saja. Tidak meng‐gerakkan kekuatan moralistik‐idealistik. Lebih mendasar lagi, pemahaman itu tidak membuat mereka berserah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengakui dan mengikrarkan kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad saw. adalah utusan‐Nya.
Tetapi…
Di antara orang‐orang yang menyatakan beriman kepada Allah, Rasulullah dan Hari Akhir, ada yang hanya mengetahui serba sedikit tentang shalat dan puasa. Selebihnya, hampir‐hampir tak ada yang mereka pahami. Ada juga yang memiliki banyak pengetahuan tentang a‐gama ini dan memiliki wawasan yang luas tentang perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai berbagai cabang masalah, tetapi pemahamannya tentang agama tidak mampu meng‐gerakkan mereka untuk memancang cita‐cita yang sangat tinggi. Mereka muslim, tetapi keku‐atan penggerak (driving force) dalam diri mereka bukan ke‐imanannya kepada Allah. Keadaan seperti inilah yang sa‐ya sebut sebagai pandangan dunia tauhid tekstual. Mereka memahami, tetapi tidak menjadi kekuatan penggerak da‐lam diri mereka.Sepanjang saya pahami, ada lima kriteria pandang‐an dunia yang baik. Catatan berikut ini mudah‐mudahan bermanfaat bagi kita dalam menakar pandangan dunia:
1. Dapat dibuktikan secara deduktif sehingga memudahkan jalan bagi seseorang –dalam hal ini peserta didik dan pendidiknya—untuk me‐nerima pandangan‐dunia tersebut dengan akal sehatnya. Dengan demikian, peserta didik da‐pat menjadikan pandangan‐dunia tersebut pe‐tunjuk yang hidup, menghilangkan kebingung‐an dan ketidaktahuan, dan memiliki serangkai‐an prinsip pokok yang mampu memberi pen‐jelasan atas setiap gejala. Ia mampu memberi jawaban bagi perubahan zaman bukan karena prinsip‐prinsipnya yang disesuaikan dengan semangat zaman tersebut (zeitgeist), tetapi karena prinsip‐prinsip yang ada di dalam‐nya dapat menjadi penjelas dan penilai bagi setiap perubahan yang terjadi di zaman ketika peserta didik hidup serta zaman sesudah dan sebelumnya.
Ide menafsirkan Al‐Qur’an untuk demokrasi, tafsir Al‐Qur’an “berkeadilan” gender serta berbagai ragam ide sejenis, merupakan tindakan kontraproduktif yang menja‐dikan kita tidak dapat mengambil petunjuk dari Al‐Qur’an. Tauhid sebagai ruh Al‐Qur’an tidak menjadi pandangan‐dunia aktual yang benar‐benar mampu menjawab perubahan zaman, bukan karena tidak adanya prinsip‐prinsip yang mencukupi un‐tuk memberi jawaban bagi perubahan zaman, tetapi karena ide penafsiran seperti itu sebenarnya tidak menempatkan Al‐Qur’an sebagai sumber cahaya, melainkan sebagai pembenaran atas gagasan‐gagasan yang berasal dari luar; dari ideologi yang tidak bersumber pada kemurnian pemahaman tauhid. Dari segi pembentukan ka‐rakter dan penanaman ‘aqidah, ide “tafsir” semacam ini juga sangat merugikan. Ti‐dak adanya kepercayaan dasar terhadap kelengkapan, kesempurnaan dan daya ta‐han Al‐Qur’an sebagai petunjuk suci menyebabkan kita sulit membentuk pribadi dengan mental yang kuat, karakter yang kokoh dan memiliki dorongan moralistik‐idealistik yang tinggi. Pada gilirannya, keadaan ini sulit melahirkan kekuatan sema‐ngat untuk mengabdi dan memperjuangkan keyakinan pada para peserta didik kita. Sebabnya, pada proses “menafsirkan” yang seakan memuliakan Al‐Qur’an tersebut, terdapat keraguan latent di dalamnya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfir‐man, “Alif Laam Miim. Kitab (Al‐Qurʹan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan ke‐pada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al‐Qurʹan) yang telah ditu‐runkan kepadamu dan Kitab‐kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al‐Baqarah, 2: 1‐4).
Allah ‘Azza wa Jalla juga telah berfirman, “Apakah (orang‐orang kafir itu sama de‐ngan) orang‐orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al‐Qurʹan) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al‐Qurʹan itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al‐Qurʹan. Dan barang siapa di antara mereka (orang‐orang Quraisy) dan sekutu‐sekutunya yang kafir kepada Al‐Qurʹan, maka nerakalah tempat yang dian‐camkan baginya karena itu janganlah kamu ragu‐ragu terhadap Al‐Qurʹan itu. Se‐sungguhnya (Al‐Qurʹan) itu benar‐benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS. Huud, 11: 17).
Di bagian lain, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al Kitab (Taurat), maka janganlah kamu (Muhammad) ragu‐ragu menerima (Al Qurʹan itu) dan Kami jadikan Al Kitab (Taurat) itu petunjuk bagi Bani Israel.” (QS. As‐Sajdah, 32: 23).
Alhasil, agar peserta didik benar‐benar memiliki pandangan‐dunia tauhid aktual yang kuat, kita berkewajiban untuk menunjukkan, membuktikan dan menanamkan keya‐kinan pada diri mereka bahwa petunjuk Allah itu bersifat abadi. Prinsip‐prinsip po‐koknya senantiasa mampu menjawab perubahan zaman, menjadi penjelas dan penilai sehingga membangkitkan kekuatan penggerak (driving force) pada diri mereka untuk mewujudkan idealisme dan cita‐cita mereka.
Sesungguhnya tak ada perubahan pada fithrah Allah. Dan tidak adanya perubahan inilah ciri agama yang lurus, sebagaimana telah Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam Al‐Qur’an:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada peru‐bahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia ti‐dak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada‐Nya dan bertakwalah kepada‐Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang‐orang yang mem‐persekutukan Allah, yaitu orang‐orang yang memecah belah agama mereka dan me‐reka menjadi beberapa golongan. Tiap‐tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar‐Ruum, 30: 30‐32).
Agar pandangan dunia tauhid benar‐benar melekat pada diri mereka, yakin sepenuhnya tidak ada perubahan pada fithrah Allah, kita harus membangkitkan kebanggaan terhadap Islam pada diri mereka dan menjauhkan dari kebanggaan terhadap golongan. Fakta bahwa adakalanya harus berada dalam satu organisasi Islam (Jam’iyah Islamiyah) berada dalam kerangka jama’atu min jama’atil muslimin. Tetapi yang membuat mereka percaya diri adalah Islam, sehingga dengan mantap berkata, “Isyhadu bi anna muslimun. Saksikanlah bahwa aku seorang muslim.”
Inilah yang akan menguatkan keyakinan, menguatkan sema‐ngat dan menguatkan barisan.
Sebaliknya, berbangga‐bangga terhadap kelompok akan mu‐dah membawa kita pada ketidakberdayaan dan kelemahan, betapa pun orang yang berada dalam barisan kita sangat ba‐nyak jumlahnya. Hari ini di antara kita ada yang membang‐gakan dirinya sebagai salafiyin, tetapi tidak mengikuti akhlak para salafush‐shalih, sehingga perpecahan lebih mudah terjadi daripada ukhuwah. Sedikit kekhilafan tidak menjadi jalan untuk saling melakukan perbaikan, tetapi penyebab timbul‐nya keretakan. Di saat yang sama, ada di antara kita yang me‐malingkan hatinya dari pembicaraan tentang keutamaan sa‐lafush‐shalih hanya karena menjumpai satu dari sedikit orang yang fazhzhan (kasar ucapannya) dari mereka yang menyatakan dirinya sebagai pengikut manhaj salaf. Mereka menjauhkan diri dari segala yang berbau “salafy”. Padahal salafush‐shalih adalah generasi terbaik agama ini.
Maha Benar Allah dengan segala firman‐Nya. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah‐lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras (fazhzhan) lagi berhati kasar (ghalizhal‐qalbi), tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maaf‐kanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang‐orang yang berta‐wakkal kepada‐Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 159).
Disebabkan oleh kebanggaan terhadap kelompok, sebagian dari kita merasa terha‐lang untuk menyebut sebagian di antara istilah‐istilah Islam. Sebagian istilah dalam Islam telah dianggap milik satu kelompok, sehingga menyebutkannya akan bera‐kibat dimasukkannya seseorang pada kelompok tersebut. Padahal tiap‐tiap istilah memuat petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala.2
Maka, para pendidik di sekolah integral berkewajiban untuk membangun pandangan dunia tauhid yang benar‐benar kokoh. Kita bangun cita‐cita dan semangat mereka dengan pandangan dunia tauhid yang mampu mereka buktikan kebenarannya; ke‐benaran yang tetap dan tidak berubah‐ubah karena berubahnya keadaan.
Sesungguhnya, setiap anak terlahir dalam keadaan fithrah, yakni keadaan yang suci dan cenderung pada kesucian sehingga mudah menyerap nilai‐nilai tauhid. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw., tergantung kepada orangtua –secara umum pendidik—apakah anak‐anak itu akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Arti‐nya, pada masa kanak‐kanak hingga fase‐fase sebelum mereka benar‐benar dewasa merupakan masa yang peka terhadap kebenaran sekaligus paling rawan.
2. Memberi makna kepada kehidupan. Tak ada aktivitas yang sia‐sia ketika semua‐nya dimaksudkan sebagai pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seluruh rangkai‐an perjalanan hidup akan berakhir pada sebuah titik yang bernama kematian untuk menuju perjalanan hidup berikutnya. Kehidupan kita hari ini adalah penyiapan be‐kal untuk hidup di alam yang hanya mengenal satu keadaan saja; bahagia atau ce‐laka. Apa yang kita lakukan hari ini akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah Yang Maha ‘Adil lagi Maha Perkasa. Tak ada sedikit pun yang luput. Tak ada keba‐ikan yang sia‐sia jika semuanya kita kerjakan ikhlash karena Allah ‘Azza wa Jalla se‐mata. Sesungguhnya Ia adalah sebaik‐baik pemberi balasan.
Di dunia ini, tak ada kesedihan abadi, sebagaimana tak ada pula kebahagiaan yang abadi. Orang yang paling bahagia sekalipun, ada saat‐saat merasa sedih, jenuh, bo‐san atau hambar. Begitu pun orang yang banyak dirundung duka, ada saat‐saat me‐rasa senang atau bahagia, meski hanya sebentar, kemudian hilang. Tetapi di akhirat, sesudah dosa dibersihkan oleh Allah atau mendapat ampunan tanpa syarat dari‐Nya, maka yang ada hanya kebahagiaan. Tak ada rasa sedih, tak ada rasa bosan. Sebalik‐nya –na’udzubillahi min dzalik—mereka yang celaka hanya menemukan penderitaan yang tak berujung. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon perlindungan. Dan di dunia tempat kita menyiapkan bekal. Inilah yang kita tanamkan pada para peserta didik agar mereka merasakan betul betul kehidupan ini bermakna.
Apabila peserta didik menemukan makna dalam kehidupan disebabkan oleh peng‐hayatan religiusnya –bukan semata pengetahuan kognitif—maka akan tumbuh pada dirinya motivasi yang bersifat intrinsik. Inilah sebaik‐baik motivasi. Seseorang mem‐peroleh imbalan bersifat emosi dari usahanya melakukan berbagai tindakan berman‐faat yang digerakkan oleh dorongan moralistik‐idealistik. Boleh jadi ia jauh dari te‐puk tangan dan gemerincing dollar, tetapi ia merasakan kebahagiaan karena mensyu‐kuri kesempatan yang Allah Ta’ala berikan untuk berbuat kebaikan.
Jika kita melihat sejarah peradaban besar, perusahaan‐perusahaan besar dan orang‐orang besar, kita menemukan bahwa mereka mencapai puncak‐puncak kesuksesan itu karena dorongan idealistik yang sangat kuat. Di balik emporium bisnis bernama Microsoft, ada tiga keluarga evangelis bekerja keras menopang bisnis software Bill Gates. Michael Drummond menuturkan ini dalam bukunya yang bertajuk Renega‐des of the Empire: How Three Software Warriors Started a Revolution Behind the Walls of Fortress Microsoft (Crown Publishers, New York, 1999). Demikian pula kerajaan bis‐nis bernama The Disney Company, didirikan oleh Michael Mogul Eisner, seorang yang phobi Islam dan anti Palestina. Perusahaan tersebut beserta sekian banyak perusa‐haan lain menguasai pasar dunia, meraup keuntungan luar biasa besar, membangun jaringan yang sangat kokoh dan secara efektif mempengaruhi masyarakat karena ada daya penggerak besar yang bukan sekedar bisnis.
Apa yang bisa kita petik dari kedua perusahaan tersebut serta sekian banyak peru‐sahaan lain? Kekuatan semangat untuk mewujudkan cita‐cita yang sangat tinggi ka‐rena daya penggerak yang bersifat ideologis.
Kemajuan Jepang juga demikian. Mereka meraih kemajuan luar biasa karena memi‐liki kekuatan penggerak yang bersifat ideologis. Akan tetapi karena ideologinya ti‐dak memberi makna bagi kehidupan yang lebih abadi, maka di puncak kesuksesan justru banyak manusia yang mengalami kehampaan spiritual. Hari ini, pemerintah Jepang pusing memikirkan angka bunuh diri yang terus meningkat. Salah satu upaya untuk meredam angka bunuh diri dan memberi makna bagi kehidupan yang lebih abadi adalah, hari ini mereka sedang merumuskan konsep akhirat.
Pandangan dunia yang baik menghapuskan dari pikiran, gagasan bahwa hidup ini sia‐sia dan menuju pada ketiadaan. Tanpa beban. Sebagai pendidik, kita justru harus menanamkan pandangan dunia bahwa sekec il apa pun usaha yang sungguh‐sung‐guh ikhlash karena Allah, akan dicatat sebagai kebaikan di sisi‐Nya. Bukankah Allah telah bersabda, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiada‐lah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitu‐ngan? (QS. Al‐Anbiyaa’, 21: 47).
Kesadaran bahwa amal sekecil apa pun bermakna, dan karena itu perlu bersungguh‐sungguh melakukan amal shalih semampunya –bukan ala kadarnya—menjadi tang‐gung‐jawab pendidik untuk menanamkan ke dalam jiwa para peserta didik. Bukan sebagai pengetahuan, tetapi sebagai kesadaran yang mempengaruhi perasaan dan motivasinya. Kesadaran untuk melakukan yang terbaik karena Allah ini menjadi penggerak dalam bertindak. Artinya, keinginan untuk berbuat baik karena Allah dan dalam rangka memperoleh ridha Allah, benar‐benar hidup dalam diri para pe‐serta didik. Dengan demikian ia memiliki kesadaran bahwa tak ada yang sia‐sia da‐lam hidup ini.
Dari sini, pendidik mengarahkan para peserta didik untuk memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan apa pun yang baik. Mereka kita arahkan untuk menjadi orang‐orang sukses dan unggul sebagai bentuk tuntutan iman. Artinya, justru kare‐na beriman, mereka memiliki semangat yang sangat tinggi untuk berprestasi dalam rangka mengambil fardhu kifayah untuk melayani agama dan ummat, serta dalam rangka menolong agama Allah melalui apa saja yang menjadi keunggulan mereka. Dalam hal ini, semangat untuk sukses merupakan dorongan penggerak yang muncul dari iman. Bukan sebaliknya, beribadah dan “beriman” agar memperoleh kesukses‐an dunia.
Ini tidak menafikan bahwa kita boleh berdo’a kepada Allah memohon apa yang tampaknya dunia –misalnya memohon rezeki yang barakah—tetapi sesungguhnya bukan semata karena digerakkan oleh hasrat kepada dunia.
Sebagai bagian dari upaya menanamkan kesadaran bahwa setiap hidup ini bermak‐na dan bukannya sia‐sia, pendidik juga harus mengajarkan melalui cara yang me‐mungkinkan bagi para peserta didik untuk terlibat secara emosi tentang keharusan untuk berbuat kebajikan bagi kedua orangtua (birrul walidain). Melalui proses pen‐didikan yang membangun kesadaran untuk hormat dan berbuat baik kepada kedua orangtua, peserta didik sebagai anak insyaAllah akan merasakan makna dari perbu‐atannya, serta makna dari tindakan‐tindakan yang dilakukan oleh orangtua. Kita mengajak anak‐anak untuk berbuat baik kepada kedua orangtua bukan dalam rang‐ka membalas jasa mereka semata‐mata, tetapi lebih dari itu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Bukankah birrul walidain merupakan perintah Allah? Itu sebabnya, tak ada alasan untuk meninggalkan birrul walidain, meski kedua orangtua jauh dari agama (na’udzubillahi min dzalik).
3. Membangkitkan hasrat mencapai cita‐cita puncak yang ideal. Pandangan‐du‐nia yang kita semai dalam diri anak‐anak haruslah mampu membangkitkan ideal‐ideal yang ingin mereka raih. Ada antusiasme yang sangat besar ketika mereka ber‐juang meraihnya, meski hasilnya belum tampak di mata. Mereka mampu menikmati proses, dan memperoleh kebahagiaan dari setiap upayanya, meskipun orang lain melihatnya susah dan berat. Mereka memiliki ketertarikan yang sangat kuat pada apa‐apa yang menjadi keutamaan dalam agama, termasuk apa‐apa yang dijanjikan oleh Allah dan rasul‐Nya, sehingga membangkitkan kekuatan yang sangat besar serta daya tahan yang tinggi pada diri mereka dalam usaha meraih berbagai keuta‐maan tersebut.
Ini berarti seorang pendidik harus mampu membangkitkan hasrat yang kuat pada para peserta didik. Mereka berperan sebagai motivator yang membangkitkan jiwa anak, sehingga pahala dan dosa, surga dan neraka, akhlaqul karimah dan akhlaqul madzmumah, jihad, amal shalih serta banyak hal lainnya, benar‐benar hidup dalam diri mereka.
Berkait dengan ini, perlu ada yang mengkaji bagaimana gaya Al‐Qur’an dan juga contohnya hidupnya, yakni Rasulullah saw., dalam memotivasi. Sekedar mengingat sejenak, di antara cara khas Al‐Qur’an memotivasi masuk surga adalah dengan mem‐beri gambaran yang menggugah tentang keindahan surga. Al‐Qur’an menunjukkan, bukan mengatakan. Show not tell.
Keharusan membangkitkan hasrat pada peserta didik untuk meraih ideal‐ideal, cita‐cita yang bersifat ideologis dan antusiasme dalam berproses, merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar‐tawar. Hari ini yang menyebabkan Islam kurang terasa pengaruhnya adalah kurangnya daya penggerak dalam diri kaum muslimin secara umum. Mereka memahami secara kognitif, tetapi tidak merasakan betul seba‐gai tujuan dan prioritas utama mereka. Ini semua merupakan kesalahan pendidik yang tidak mampu menanamkan tauhid sebagai pandangan dunia aktual, pandangan dunia yang benar‐benar membimbing jalan hidup mereka (manhajul hayyah).
Sebagai pandangan dunia yang membangkitkan ideal‐ideal dan cita‐cita sangat tinggi dan sekaligus menggerakkan jiwa untuk mencapainya, tauhid juga harus tertanam sebagai idealisme hidup para peserta didik.
4. Mensucikan maksud, memperkuat tujuan. Tak cukup hanya memanjatkan do’a dan bersimpuh di depan mihrab untuk menjadi seorang muslim yang baik. Islam tidak hanya berhubungan dengan masalah‐masalah ibadah mahdhah. Seluruh akti‐vitas hidup ini harus bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Se‐cara keseluruhan, pendidik menanamkan pandangan dunia tauhid agar peserta di‐dik memiliki kesediaan berkorban. Hanya inilah yang menjamin para peserta didik akan memperjuangkan tujuan‐tujuannya dan melaksanakannya dengan sungguh‐sungguh.
Mampu secara efektif memperkuat dan menyucikan maksud‐maksud dan tujuan‐tujuan sosial manusia, sehingga membuat orang mudah berkorban dan mempertaruhkan diri demiki maksud dan tujuan ini. Suatu jalur pemikiran atau ideologi yang tidak dapat menyucikan tujuan‐tujuannya, tidak dapat menanamkan rasa mengabdi, berkorban dan membangun idealisme yang berkenaan dengan tujuan tersebut, tentu tidak memiliki jaminan bahwa tujuan‐tujuannya akan dilaksanakan dan diperjuangkan.
5. Membangkitkan komitmen dan rasa tanggung‐jawab sehingga membuat peserta didik akan bertanggung‐jawab terhadap dirinya sendiri dan masyarakat.
4. Mengenal Allah & Rasul-Nya
Seluruh proses pendidikan, terutama di saat‐saat awal, diarahkan untuk menjadikan peserta didik mampu mengenal Tuhan Yang Menciptakan beserta utusan‐Nya. Peserta didik terlebih dahulu dikenalkan pada sifat jamaliyah Allah, yakni Maha Pemurah, dan sifat‐sifat lainnya untuk kemudian dikenalkan dengan sifat jalaliyah‐Nya.
5. Membangun Kesadaran tentang Ketetapan Hukum Allah
Proses pendidikan juga diarahkan untuk membangun kesadaran tentang ketetapan dan tidak berubahnya hukum‐hukum Allah yang berupa mekanisme alam – untuk selanjutnya bisa disebut hukum alam, atau kalau tidak suka kita sebut sunnatullah – dan yang berupa peraturan‐peraturan syari’at sebagaimana dimuat dalam Al‐Qur’an dan As‐Sunnah. Proses pendidikan membangun pemahaman dan kesadaran peserta didik tentang perbedaan sifat dari kedua jenis hukum yang sama‐sama datang dari Allah ini, beserta perkecualiannya.
6. Menumbuhkan Semangat Berjuang
Seluruh proses pendidikan juga diarahkan untuk membangun kesadaran berjuang. Arah pendidikan pada butir ini nantinya berkait erat dengan surat Al‐Qalam ayat 1 – 7. Mohammad Fauzil Adhim
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar