JAN BREMMER, dalam buku Interpretations of Greek Mythology,
(London: Routledge, 1988), mencatat, bahwa meskipun masyarakat Barat
sudah tersekulerkan dan membuang hal-hal yang supranatural, namun mereka
tetap memelihara cerita-cerita tertentu sebagai model perilaku dan
ekspresi ideal negara. Meskipun berbeda, Masyarakat Barat memiliki
banyak kesamaan dengan masyarakat Yunani. Sebagaimana masyarakat Yunani,
mitos-mitos juga banyak menarik bagi masyarakat Barat. (Western
secularised societies have
nearly abolished the supernatural, but they usually still have their favorite (historical) tales that serve as models of behavior or are the expression of the country’s ideals. It is their relevance to Greek society that makes the mythoi still fascinating today, for however different the Greeks were from us, they were also very much the same).
nearly abolished the supernatural, but they usually still have their favorite (historical) tales that serve as models of behavior or are the expression of the country’s ideals. It is their relevance to Greek society that makes the mythoi still fascinating today, for however different the Greeks were from us, they were also very much the same).
Apakah yang dimaksud dengan Greek Mythology? David Bellingham, dalam buku An Introduction to Greek Mythology, (London: Quintet Publishing Ltd, 1989), membuat dekripsi sederhana tentang hal ini. Kata mitos (myth)
berasal dari kata Yunani kuno “muthos” yang asalnya berarti “ucapan”,
dan kemudian berarti “cerita oral atau tertulis”. Sedangkan “Legenda” (legend)
biasanya terkait dengan peristiwa nyata, tetapi mengandung unsur-unsur
yang terkait dengan mitos. Salah satu legenda terkenal dalam tradisi
Yunani adalah cerita tentang Perang Troya yang menceritakan kepahlawanan
Achiles dan Agamemnon.
Pengaruh mitos-mitos Yunani terhadap
masyarakat Barat dapat dilihat dari banyaknya istilah atau nama-nama
yang diambil dari nama-nama dewa dalam mitologi Yunani, seperti Titans,
Eros, Aether, Uranus, Electra, Hera, Apollo, Mars, Hermes. Apollo, yang
dijadikan nama pesawat pertama Amerika Serikat ke bulan, adalah dipuja
sebagai dewa rasional, dan diasosiasikan dengan budaya dan musik. Ia
digambarkan sebagai pria tampan yang memiliki banyak affair dengan
laki-laki maupun wanita. Menurut mitologi Yunani, Dewa Apollo dilahirkan
di pulau Delos, yang hingga kini masih disucikan. Dalam perjalanannya
ke Delphi, ia membunuh seekor ular besar yang disebut dengan ‘Python’.
Hingga kini, di Delphi masih terdapat sisa-sisa kuil yang disebut
sebagai kuil Dewa Apollo.
Hermes, anak Zeus, juga digambarkan
memiliki banyak affair, seperti Apollo. Ia pun dikenal sebagai Dewa para
pencuri. Ketika ia tumbuh besar, Zeus menjadikannya sebagai utusan para
dewa. Hanya Hermes yang memiliki izin bebas lewat antara Gunung
Olympus, dunia, dan ‘underworld’. Dari nama Hermes kemudian diambil
istilah ‘hermeneutika’. Cerita-cerita dalam mitologi Yunani memang
dipenuhi dengan unsur seksual dan perselingkuhan, baik diantara para
dewa maupun antara dewa dengan manusia.
Mitos-mitos itu hidup di tengah masyarakat
Yunani, meskipun sebagian mereka juga mengembangkan pemikiran tentang
filsafat dan ilmu pengetahuan alam. Di masa modern, Barat pun
mengembangkan mitos-mitos yang mirip dengan mitologi Yunani. Cerita
tentang Superman dan Wonderwoman, misalnya, mirip dengan cerita dalam
mitologi Yunani. Wonderwomen yang diperkenalkan oleh Charles Moulton,
identik dengan cerita Diana dalam mitologi Yunani. Superman, yang tidak
dapat dilemahkan kecuali dengan Kryptonite Hijau, mirip dengan kehebatan
Achilles yang tidak dapat dilukai kecuali pada tumitnya.
Bisa dibandingkan, bagaimana produktifnya
masyarakat Yunani dalam memproduksi mitos-mitos dengan masyarakat Barat
dalam memproduksi berbagai mitos. Bisa disimak, bagaimana pesat dan
berpengaruhnya industri film di Barat, yang pekerjaannya juga banyak
memproduksi mitos-mitos dan legenda, yang ternyata begitu disukai
masyarakat Barat. Film-film yang menjual mitos dan legenda, semisal
Ghost, Rambo, Robin Hood, Batman, Superman, Spiderman, dan sebagainya.
Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan
Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di
gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk
dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan
Eric Bana ini. Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap
penonton. Sampai-sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk
ke dalam gedung bioskop.
Sementara, sampai 23 Juli 2004, film
Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar),
masih dibawah perolehan film legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta
USD. Film King Arthur, yang baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli
2004, sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang
begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai
bulan Februari 2004. Film ini, meskipun didasarkan pada cerita
Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit
diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu
maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD.
Santa Claus
Dalam tradisi masyarakat Barat, misalnya,
juga sangat terkenal legenda dan mitos tentang Santa Claus dan
Suartepit, dalam kaitan dengan Perayaan Natal atau kelahiran Jesus (Natus, natalis, dalam
bahasa Latin berarti “kelahiran”). Cerita ini sama sekali tidak ada
kaitan dengan agama Kristen. Tetapi, toh, tetap mendominasi suasana
Natal di Barat dan berbagai penjuru dunia lainnya. Setiap menjelang dan
selama Natal, hotel-hotel, mal-mal memasang patung dan gambar Santa
Claus, yang biasanya digambarkan dengan pakaian merah dan topi merah
berjambul. Bahkan, tidak jarang, ramai orang ikut-ikutan berpakaian ala
Santa Claus.
Cerita tentang Santa Claus sendiri
sebenarnya tidak jelas benar. Konon, ia berasal dari seorang bernama
Nicholas, dilahirkan di kota Lycia, pelabuhan kuno di Patara (Asia
Kecil). Nicholas digambarkan sebagai uskup yang ramah, suka menolong
anak dan orang miskin. Namun, legenda Santo Nicholas juga bercampur
dengan legenda lain tentang ‘pemberi hadiah’ dari kalangan kaum pagan
yang memiliki kekuatan sihir yang menghukum anak-anak nakal dan memberi
hadiah kepada anak-anak yang baik. Dia biasa menaiki kereta terbang yang
ditarik rusa kutub. Namun, ada juga legenda tentang Sinterklaas yang
menggambarkan orang tua berjanggut putih panjang berpakaian uskup
menaiki kuda yang bisa terbang ke atap rumah, dibantu budaknya Swarte
Piet.
Sinterklaas datang tanggal 5 Desember
malam, ke rumah-rumah untuk memberi hadiah bagi anak-anak yang baik
melalui cerobong asap. Gambaran Sinter Klaas, yang berkulit putih dan
pemurah kepada anak-anak, bisa dijadikan sebagai bahan propaganda
tentang kebaikan orang kulit putih. Sebaliknya, budak hitam Swarte Piet,
pembantunya, budak berkulit hitam, digambarkan bersifat kejam, dan suka
mencambuk anak-anak nakal. Karena sejarah kehidupan Nicholas tidak
jelas, Paus Paulus VI menanggalkan perayaan Santo Nicholas dari kalender
resmi gereja Roma Katolik pada tahun 1969. Ada juga Santa Claus versi
Amerika, yang berasal dari Kutub Utara. Santa Claus di AS adalah ciptaan
dari Public Relation Manager untuk mempromosikan produk minuman
tertentu. Karena orang Amerika tidak mau disebut rasis, maka Santa Claus
di AS tidak ditemani oleh pembantunya yang berkulit hitam.
Banyak kalangan Kristen yang prihatin
dengan kondisi Perayaan Natal yang lebih menonjolkan legenda dan mitos
tentang Santa Claus, ketimbang sosok Jesus. Dalam situs Kristen (http://www.yabina.org/TanyaJawab/11/des_11.htm)
ada pembaca yang bertanya, “Kalau kita sudah tahu perayaan Natal itu
banyak legenda/mitosnya apakah tidak sebaiknya kita meniadakan perayaan
Natal itu?”. Dijawab, “Benar harus diakui bahwa perayaan natal sudah
banyak diisi legenda/mitos yang tidak ada hubungannya dengan Injil,
apalagi perayaan natal sudah menjadi bisnis besar dan
dikomersialisasikan oleh dunia sekuler sebagai saat belanja diakhir
tahun, namun sekalipun banyak legenda/mitos yang dimasukkan dalam
rangkaian perayaan natal tentu yang harus kita demitologisasikan adalah
bungkus legenda/mitos itu dan bukan perayaan Natal itu sendiri yang
sudah ada sebelum masuknya legenda/mitos Santa Claus itu. Soalnya
perayaan Natal yang bersumber peristiwa di Bethlehem itu sudah dikenang
pada hari Epifani tanggal 6 Januari dalam gereja yang kemudian ditahun
325 dipindah ke tanggal 25 Desember untuk menggantikan Hari Dewa
Matahari. Natal bukan Hari Matahari karena sejak awal dalam perayaan
Natal tidak ada unsur penyembahan Dewa Matahari itu, apalagi tidak ada
perayaan minggu Saturnalia seperti yang dilakukan orang Romawi dulu ke
dalam rangkaian perayaan Natal.”
Memang, sejatinya, bukan hanya figur Santa
Claus dan Suartepit yang bersifat mitos. Perayaan Natal pada 25
Desember pun sarat dengan mitos-mitos dan pengaruh paganisme, sehingga
terus memunculkan perdebatan panjang di kalangan kaum Kristen. Remi
Silado, seorang budayawan Kristen, menulis sebuah kolom di majalah Gatra, (27 Desember 2003). Judulnya “Gatal di Natal”.
Ia menulis antara lain:
(1) “Sebab, memang tradisi pesta ceria
Natal, yang sekarang gandrung dinyanyikan bahasa kereseh-reseh Inggris,
belum lagi terlembaga. Sapaan Natal, “Merry Christmas” –dari bahasa
Inggris Lama, Christes Maesse, artinya “misa Kristus”– baru terlembaga
pada abad ke-16, dan perayaannya bukan pada 25 Desember, melainkan 6
Januari.”
(2) “Dengan gambaran ini, keramaian Natal
sebagai perhitungan tahun Masehi memang berkaitan dengan leluri Barat,
istiadat kafir, atau tradisi pagan, yang tidak berhubungan dengan Yesus
sendiri sebagai sosok historis-antropologis bangsa Semit, lahir dari
garis Ibrahim dan Daud, yang merupakan bangsa tangan pertama yang
mengenal monoteisme absolut lewat Yehwah.”
(3) Saking gempitanya pesta Natal itu,
sebagaimana yang tampak saat ini, karuan nilai-nilai rohaninya tergeser
dan kemudian yang menonjol adalah kecenderungan-kecenderungan duniawinya
semata: antara lain di Manado orang mengatakan “makang riki puru polote
en minung riki mabo” (makan sampai pecah perut dan minum sampai mabuk).
(4) “Demikianlah, soal Natal sekali lagi
merupakan gambaran pengaruh Barat, dan persisnya Barat yang kafir, yang
dirayakan dengan keliru.”
tajam terhadap budaya Natal dari kalangan
Kristen itu sebenarnya sudah banyak dilakukan. Seorang pendeta bernama
Budi Asali M.Div., menulis artikel panjang tentang Natal berjudul Pro-Kontra Perayaan Natal,
dan disebarluaskan melalui jaringan internet. Pendeta ini membuka
tulisannya dengan ungkapan: “Akhir-akhir ini makin banyak orang-orang
kristen yang menentang perayaan Natal, dan mereka menentang dengan cara
yang sangat fanatik dan keras, dan menyerang orang-orang kristen yang
merayakan Natal. Kalau ini dibiarkan, maka Natal bisa berkurang
kesemarakannya, dan menurut saya itu akan sangat merugikan kekristenan.
Karena itu mari kita membahas persoalan ini, supaya bisa memberi jawaban
kepada orang-orang yang anti Natal.”
Jelas, banyak kalangan Kristen yang
“anti-Natal”, meskipun mereka tenggelam oleh gegap gempita peringatan
Natal, yang begitu gemerlap. Di Malaysia, 27 Desember 2003, ada perayaan
Natal Bersama di Lapangan Olahraga Kinabalu, Sabah, yang dihadiri
ratusan ribu orang. Selain ada pawai lampion, nyanyi-nyanyi lagu-lagu
Natal, ada juga acara peragaan busana batik, yang dilakukan oleh
beberapa peserta lomba ratu kecantikan dari berbagai negara. Acara ini
disiarkan langsung oleh TV1 Malaysia. Seperti halnya di berbagai belahan
dunia lainnya, sosok Santaklaus sudah jauh lebih popular daripada sosok
Jesus. Pohon cemara yang sulit dicari di Palestina, sudah menjadi
simbol Natal.
Sebenarnya, jika ditelusuri, kisah Natal
itu sendiri sangat menarik. Bagaimana satu tradisi kafir (pagan) di
wilayah Romawi kemudian diadopsi menjadi tradisi keagamaan Kristen.
Banyak literatur menyebutkan, bahwa tanggal 25 Desember memang merupakan
hari peringatan Dewa Matahari yang di Romawi dikenal sebagai Sol
Invictus. Setelah Constantine mengeluarkan the Edict of Milan, pada 313
M, maka ia kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan keagamaan yang
mengadopsi tradisi pagan. Pada 321, ia memerintahkan pengadilan libur
pada hari “Hari Matahari” (sun-day), yang dikatakan sebagai “hari mulia
bagi matahari”. Sebelumnya, kaum Kristen – sama dengan Yahudi –
menjadikan hari Sabbath sebagai hari suci. Maka, sesuai peraturan
Konstantine, hari suci itu diubah, menjadi Sunday. Sampai abad ke-4 M,
kelahiran Jesus diperingati pada 6 Januari, yang hingga kini masih
dipegang oleh kalangan Kristen Ortodoks tertentu. Namun, kemudian,
peringatan Hari Kelahiran Jesus diubah menjadi 25 Desember.
Ada sebagian kalangan Kristen yang
berargumen, bahwa tanggal 25 Desember itu diambil supaya perayaan Natal
dapat menyaingi perayaan kafir tersebut.
Tetapi, apa yang terjadi sekarang,
tampaknya seperti yang dikatakan oleh Remi Silado, bahwa perayaan Natal
sudah didominasi oleh tradisi perayaan kaum kafir. Maka, muncullah, di
kalangan Kristen, gerakan untuk menentang perayaan Natal pada 25
Desember. Apalagi ada yang kemudian melihat, penciptaan tokoh
Sinterklass, sebenarnya merupakan bagian dari rekayasa Barat untuk
melanggengkan hegemoni imperialistiknya, yakni ingin menciptakan image,
bahwa Barat adalah dermawan, baik hati, suka bagi-bagi hadiah, seperti
Sinterklas itu. Begitulah bagian dari tradisi Kristen Barat.
Mencermati perilaku masyarakat Barat itu tampaknya pernyataan Jan Bremmer perlu digarisbawahi: “It
is their relevance to Greek society that makes the mythoi still
fascinating today, for however different the Greeks were from us, they
were also very much the same”.
Bagaimana sikap Muslim?
Dalam al-Quran surat Maryam disebutkan
bahwa: “Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha Pemurah itu mempunyai anak.
Sesungguhnya (kalian yang menuduh Allah punya anak itu) telah melakukan
perbuatan yang sangat mungkar (syaian iddan). Dan Allah
berfirman dalam al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah
serta gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka menuduh Allah Yang Maha
Pemurah itu mempunyai anak.” (QS 19:88-91).
Dalam buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, (hlm. 36-37), ditulis apa yang disebut ”Syahadat Nicea”: “Kami
percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus
Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang
berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah
benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat
dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…”
Sedangkan dalam buku “Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik
disebutan juga teks ”syahadat Katolik”: “Kami percaya akan satu Allah,
Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan,
Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari
Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir
dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad … “ (Alex
I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 9-10). (Medan, 13 Desember 2014, kisah tentang Mitologi Barat dikutip dari Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: GIP, 2005).* http://www.hidayatullah.com
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Tidak ada komentar:
Posting Komentar